Dia Orang Lama?

PART 1: Dia Orang Yang Sama?

Hadirnya unik terangkum pada kebetulan yang menyebalkan. Namun, karena beberapa pertanyaan tanpa kata jawaban, mungkin ini adalah misi penyelamatan ransel kenangan itu. Memperkenalkannya, tapi tidak untuk mesin waktu. Sebab ia telah mengubah peran yang berbeda di masa yang tak lagi sama.

Tepat Februari yang lalu, dengan wajah keheranan saat rute pagi mengantarkan Via ke kantor untuk bekerja, mendadak sebuah nama memproyeksikan seseorang yang jadi perbincangan di tempat itu. Kenapa tidak? perbedaan nama itu hanya terletak pada ekornya. O. Ya,, benar huruf O. 

Dengan polosnya, Via mengejah "V I O ?" Sontak mendengar suara Via, semuanya hening dari perbincangan mereka. Dan tanpa aba-aba, wajah heran itu mendadak jadi tegang. "Via!!! aku saranin ya, kamu jangan deket-deket sama si Vio itu, gila dia itu nyebelin banget, padahal dia anak baru".

"Kalian kenapa si? bahkan aku gak tau orangnya yang mana. Lagi pula kita jangan menyimpulkan watak seseorang kalau kita juga baru kenal dengan dia, gak baik tau" Via berusaha menjelaskan dan nenangkan teman-temannya.

“Heran, kenapa nama itu selalu terdengar disetiap sudut kantor ya, siapa si dia?”. Gumamnya. Rasa penasaran itu tak kunjung dapat jawaban karna Via belum bertemu dengannya langsung. Sampai suatu ketika, saat Via menjalankan rutinitasnya di jam istirahat untuk mengunjungi tempat andalanya menulis, ternyata ada seseorang yang singgah di tempat itu. Entah siapa dia, tapi Via heran. Karna biasanya jarang sakali yang duduk di sana. Misterius, anonim, wajahnya tidak terlihat sama sekali, buku itu menutupinya.

BACA JUGA: KERJA SAMA DIRI SENDIRI

Semakin ditunggu semakin menggebu, dia tak kunjung beranjak dari tempat itu. Seolah ia tau, ada heran yang sedang memperhatikannya. Tapi yang sebenarnya seseorang itu adalah Vio si kutu buku. Via tidak tau kalau orang yang ia pertanyakan, ada di tempat yang sama dengannya. “sungguh waktuku terkuras dengan heran pada orang yang sedari tadi membaca”. Ucap Via dalam hati. 

Saat Via hendak beranjak mendekat, tiba-tiba temanya memanggil. Sontak Via pun menghentikan langkahnya sambil menoleh. Namun, tiba-tiba Vio menghilang. Melihat Via yang kebingunngan, temannya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Via berusaha mengalihkan pertanyaan itu dengan mengajak temannya pergi dari tempat itu.

Hari itu Via sedikit kecewa karena coretan bukunya masih berwarna putih. Tak ada tulisan, tapi hanya ada kesan. Kesan keheranan yang seolah ingin mencari tau. “Padahal rasanya tidak penting bagiku akan dia” ujarnya dengan menepis heran itu. Tapi percayalah, pertemuan mereka yang tak saling mengenal seolah sudah tersepakati oleh waktu. Namun, membuat Via berkali kali berbalas tanya dengan isi kepala sendiri.

1 jam menuju rumah, perjalanan pulang kerja kala itu benar-benar memberi rute yang berbeda lagi bagi Via. Via menikmatinnya dengan berniat menulis lagi di buku favoritnya yang tak kunjung ia selesaikan. Ditemani dengan satu cup kopi yang sebenarnya sudah tak cukup hangat untuk menemaninya. 

Via mulai menulis, entah apa yang ia pikirkan. Huruf-huruf yang tercipta dari ilusi menjadi sebuah kombinasi, membentuk kata "Diam". Membingungkan halaman 313 yang masih kosong, berhasil membuat tatapan Via tak menoleh selama 5 menit. Halaman itu di isi:
Diam...
Tak bersuara namun memendam.
Terlihat tenang namun berpancar.
Dalam hati ia menambah rasa.
Terkurung atas cerita.
Diam...
Aku bercerita tanpa suara.
Berkata dalam hati.
Semua terkunci rapi.

5 menit, singkat, rute hari itu benar-benar berbeda. Hujan dan macet diperjalanan, justru tiba-tiba malah mengalihkan perhatiannya pada jendela mobil. Lagi-lagi Via berhenti menggoreskan warna kesukaannya pada lembaran kertas halaman 313 itu. Perhatiannya tertuju pada kerumunan orang dan entah apa yang terjadi disana. Tatkala Via turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi disana, mendadak ia disuguhkan dengan pertanyaan dari seorang laki-laki yang ia tidak kenal sama sekali. 

“Apakah semua diam itu dianggap dengan sombong?” Via yang keheranan justru memastikan dengan menengok ke kanan dan ke kiri “Maaf kak, kamu bicara dengan saya?” menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain.

“Nggak… cuma bicara dengan kesunyian yang anehnya ia berada pada tengah keramaian”. Ujarnya dengan tatapan yang terus memperhatikan adek kecil manis, yang memakai jas hujan namun ia tampak terdiam saja sambil membawa box plastik. 


Tak lama kemudian laki-laki itu, melangkah mendekati adek tersebut, sambil berkata:

“Tuhan menciptakan pundak untuk setiap manusia, tapi apakah kalian tau setiap beban yang dipikul di pundak itu tidak sama?” 

“Apakah kalian tau alasan setiap pertanyaan yang kalian lontarkan itu, tidak dijawab? Ya… tentu saja karna dengan penjelasan apapun tak bisa menjelaskan pikulan itu kecuali dengan merasakannya”.

Seketika semua terdiam dan memperhatikan laki-laki tadi. Dan adek kecil itu, dia sosok yang kuat, kerapkali orang bertanya untuk menawar dagangannya dengan harga yang justru lebih murah, ia menolaknya hanya dengan senyuman tanpa ada suara. Dan yang sebenarnya adalah ia selalu berusaha untuk tetap damai dengan persaannya sendiri. Berusaha tetap terlihat baik – baik saja, namun tegar dengan diam. Terlihat jelas dari wajahnya menahan dinginnya air hujan.

Itulah kenapa laki-laki tersebut berkata pada semuanya seperti itu. Via sangat heran dan sedikit kagum pada laki-laki itu “Sebenarnya, dia itu siapa? dan kenapa hari ini pikiranku penuh dengan pertanyaan yang sama” ucapnya dalam hati.  

Laki-laki itu, seakan tau apa yang sedang adek tersebut alami, dari sikapnya terlihat sangat peduli. Dia memeluk adek kecil itu, "Adek jualan apa?" tanyanya dengan suara pelan. "Gorengan kak" Adek itu terlihat keheranan karna laki-laki tersebut memberikan sejumlah uang padanya. “Apa ini?” melontarkan lagi pertanyaan baru.

“Kamu gak tau ini uang? kakak beli dagangan kamu”. Tegas laki laki itu. 

“Tapi jumlah uang kakak ini terlalu banyak, bahkan ia lebih dari harga semua daganganku ini”. 

“Berikan box itu padaku, kakak beli ini semua. Dan lebihnya anggaplah sebagai bonus”. Ia berusaha menolak, namun laki-laki itu langsung beranjak pergi dan belum sempat ucapkan terima kasih, sang adek berharap bisa bertemu dengannya lagi di lain waktu.

Sementara Via yang telah menyaksikan itu semua, ia pun mendekati pula adek tersebut sambil bertanya "Dek, namamu siapa? kenapa hujan-hujan jualannya?" Adek kecil itu pun menjawab "Namaku Ari, Saya butuh uang kak untuk beli buku sekolah". Sambil mengusap rambut sang Adek, Via memberikan pula sejumlah uang padanya. "Ini ada hadiah buat kamu, semangat terus ya sekolahnya, kakak pamit pulang ya". Adek itu menangis dan memeluk Via. Ia menyampaikan perasaan senangnya karna do'anya terkabul.

“Apa yang akan ia lakukan dengan makanan sebanyak itu?" sambil berjalan menuju mobil. Ntahlah, seseorang tadi sepertinya telah membuat Via benar-benar kagum padanya.

BERSAMBUNG.....

Kira-kira siapa ya yang membuat Via kagum? Apakah ada kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Via? Apakah dia itu Vio yang selama ini ia pertanyakan? atau orang yang berbeda? Dan kenapa kebetulan pula nama mereka hampir sama, seperti halnya kembaran hehe... Teman-teman penasaran ya? Oke teman-teman temukan jawabnnya di part berikutnya, dan boleh banget nih buat teman-teman menyampaikan saran dan kritikan yang membangun buat kedepannya lewat kolom komentar ya...


Comments

Postingan Terbaru

Popular Posts

Adab Muqaran dan Realitas Keterpengaruhan Lapangan Sastra

Kanvas Misterius

Berharap Pada Angin Itu Percuma

Penikmat Instagram Story-mu

Studi Sastra Dengan Pendekatan Ekstrinsik