Berharap Pada Angin Itu Percuma

Gambar kesendirian dan introspeksi" "Ilustrasi perasaan terkapar dan memohon harapan" "Potret kerapuhan dengan judul 'Terkapar, Pintaku Cukup Satu'" "Foto dengan nuansa melankolis dan permohonan akan perubahan" "Karya seni yang mencerminkan harapan di dalam kelemahan"

Ini sangat gila! kenapa aku dipertemukan dengan karakter yang sama?
Aku tidak banyak meminta.......
Aku hanya meminta, tolong matikan semua rasa untuknya.
Aku hanya meminta, tolong jangan kilas balik tentangnya.
Aku hanya meminta, tolong jangan renyuhkan batinku, kembali menerimanya.
Aku hanya butuh ruang untukku sendiri.
Sekarang luka apa lagi yang mesti aku sembuhkan untuk mendapatkan hak-ku itu?

Secara tiba-tiba, kata-kata itu meluncur dengan begitu lancar dari bibir Via. Tanpa melibatkan banyak syarat, kejadian itu memicu kembali lautan air mata yang sudah lama tertahan, mengalir tanpa kendali seperti sungai yang melewati batasannya.

Empat tahun berlalu tanpa kepastian, sebuah perjalanan yang memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Sussstttt. Tidak! Kalian jangan berpikir bahwa Via adalah wanita yang lemah! Dia terlalu paranoid? Kalian salah! 

Bagaimana kalian menilai jika seseorang dengan begitu mudah mengucapkan permintaan "Tolong tunggu aku" tapi waktu memudarkan semua kabar tentangnya. 

"Pesanku tak pernah dibalas"
"Panggilanku tak pernah dijawab"
"Komentar sosmedku tak pernah digubris"
"Semua bermula saat Rafassya pergi meninggalkanku untuk melanjutkan S2 di Kuwait".

Hati Via menjerit menyuarakan pembelaan. Empat tahun berlalu tanpa kepastian. Dalam kurun waktu ini, setiap hari dilalui dengan rasa tidak pasti, tentu membawa beban pikiran dan emosi yang berat.

Hey kawan..... Sensasi kelelahan bukan hanya terbatas pada tubuh, tetapi juga merambah ke dalam jiwa. Pikiran yang terus-menerus berkutat dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab, membuat setiap langkah terasa berat. Bagaimana bisa seseorang mempertahankan semangat dan keteguhan bila tak ada landasan pasti untuk melangkah maju? Ini adalah pertanyaan yang menggantung di benak bagi siapapun yang terlibat dalam perjalanan panjang, termasuk apa yang dialami Via.

Tidak banyak yang Via harapkan. Ia hanya menginginkan sedikit kata penyemangat, bahkan hanya untuk mengakui dan memenuhi permintaannya sendiri. Tidakkah itu hal yang wajar? Ia menyadari bahwa Rafassya mungkin sangat sibuk di tempatnya, namun apakah satu menit pun tak bisa diambil? Satu menit yang mungkin sudah cukup untuk meringankan beban hatinya.
Menunggu, bukanlah hal yang mudah.  Menunggu adalah seni bersabar paling melelahkan. Jika memang jarak yang dimaksud Rafassya untuk menjadikaan Via lebih tangguh, maka itu terbilang sia-sia.

Kenapa? 
Karna kapasitas ruang akan penuh, setiap apa-apa yang penuh pasti akan peluh, lalu ia akan luruh. Begitupun dengan kesabaran manusia. Berjuang sendiri, cinta sendiri, lalu dari sisi mana Rafassya menyuarakan bahwa pertemuan setelah sekian lama akan berbuah berhasil? Dengan diamnya dia?.

Ah, sudahlah! Via mulai berhenti berharap dengan Rafasya, tapi kenapa waktu malah memepertemukan Vio sebagai versi kedua dari Rafassya? Karakter Vio begitu mirip dengan Rafassya di masa lalu, membuatnya bertanya-tanya apakah ini kebetulan atau takdir yang mengarahkannya pada kisah yang serupa.

Kehadiran Vio dalam kehidupan Via datang pada saat yang tak terduga, ketika Via sedang berusaha memulihkan luka-lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Ironisnya, Vio terasa seperti "dejavu" dari sosok Rafassya, baik dalam sikapnya, perkataannya, maupun ungkapan cintanya terhadap Via. Suara tangisan lembut membingkai raut wajahnya yang terhanyut dalam duka, saat mengingat semua itu.

Namun, tiba-tiba.....
Suara ketukan lembut memecah keheningan kamar Via, menyusup dalam tangis yang terasa sedalam samudra. Diki, kakaknya, merasakan getaran kekhawatiran membingkai detik-detik itu. Langkahnya tiba-tiba memutuskan keheningan, menyingkap misteri di balik pintu kamar adik perempuannya. Sebuah kekhawatiran yang sudah tumbuh sejak perjalan pulang di mobil sore tadi, via lebih terliat memperhatikan hp-nya dengan tatapan kesal seperti menembus lorong waktu yang ingin ia kejar. 

Diki menaruh telinga di pintu, mencoba mendengar lebih suara adik perempuannya di balik sana. Dengan cepat Via  membukakan pintu sambil mencoba menyembunyikan jejak air matanya yang belum kering. Ia menutupi kepalanya dengan selimut, kemudian memasang senyum sembari memutar matanya ke layar televisi yang menampilkan adegan sebuah film terbaru.

Diki memasuki kamar dengan pandangan tajam yang mencari petunjuk. Walaupun Via berusaha menyembunyikan rasa sedihnya di balik senyuman dan selimut yang digunakan untuk menutupi wajah, Diki merasakan bahwa ada cerita yang belum terungkap di balik panggung pertunjukan yang dibuat oleh adiknya.

"Vi, kamu sedang menonton film?" tanyanya dengan nada yang penuh penasaran, meski hatinya tahu bahwa ada yang lebih mendalam di balik masker senyum adiknya.

Via, dengan pandangan yang berusaha untuk tetap ceria, mengangguk cepat. "Iya, Kak. Film ini bagus banget" jawabnya dengan suara yang bergetar, mencoba keras untuk menyembunyikan rasa rapuhnya.

Diki duduk di sebelah Via, mencoba membaca antara baris-baris senyum palsu dan tatapan kosong yang tersembunyi di balik selimut. Ia memilih untuk tidak menekan, membiarkan waktu mengalir seiring dengan film yang diputar. Sementara itu, Via terus berpura-pura menikmati tontonan di layar, berusaha menguburkan perasaannya yang terluka dalam dunia imajiner yang diciptakan oleh film tersebut.

Via berusaha mempertahankan ilusi bahwa tangisannya hanyalah reaksi terhadap film yang sedang ditonton. Ia memutar matanya ke layar televisi, mencoba menangkap alur cerita yang terus berjalan seolah-olah semuanya normal. Dalam usahanya mempertahankan ilusi tersebut, tangisan Via tertahan di tenggorokannya, dan ia berpura-pura tertawa pada adegan-adegan lucu dalam film.

Tetapi, ketika momen dramatis mencapai puncaknya, Via tidak bisa lagi menahan gelombang emosi yang menyapu hatinya. Ia merasa lapisan tipis yang menyembunyikan luka hatinya mulai terkoyak, dan akhirnya, ia meledak dalam sebuah teriakan tajam yang mengguncang ruangan.

"Kenapa ini harus terjadi?" teriak Via dengan suara gemetar, mengungkapkan kebingungan dan kesedihannya yang telah terpendam begitu lama. Diki terkejut dengan reaksi adiknya, tak menyangka bahwa di balik senyuman dan kedok keceriaan, terdapat kepedihan yang mendalam.

"Vi, kenapa?" tanya Diki dengan khawatir, mencoba memahami apa yang terjadi.

Via menoleh pada layar televisi dan menunjuk pada seorang wanita yang tengah mengalami kisah sulit dalam film tersebut. "Wanita itu! Mengapa dia harus menghadapi semua ini? Kenapa dunia begitu kejam padanya?" Via berkata sambil menangis, meratapi takdir karakter dalam film yang jelas-jelas merefleksikan perasaannya sendiri.

Diki menyadari bahwa tangisannya bukanlah semata-mata karena cerita dalam film. Ada rasa simpati yang mendalam dan lapisan emosi yang membutuhkan pelampiasan. Dengan penuh pengertian, Diki memeluk adiknya, memberikan dukungan dan kehadiran di tengah kegelapan yang mengelilingi hati Via.

"Kenapa Kakak memelukku?" gerutu Via dengan suara bergetar, seolah-olah mencoba mempertahankan kedoknya dengan pura-pura memasang wajah riang.

Tapi di balik punggung Diki, pantulan wajah Via terlihat di cermin yang ada di kamar. Cermin itu menjadi saksi bisu dari realitas yang tengah Via alami, meski dihadapan kakaknya ia berusaha menyembunyikan kesedihannya. Meski bibirnya berbicara dengan lelucon dan candaan, matanya masih mencerminkan rasa sakit yang belum sepenuhnya terobati. 

Diki, dengan bijak yang terus mengawasi adiknya, tetap memegang erat pelukannya.  Ia memberikan waktu dan ruang bagi adiknya untuk meresapi perasaannya sendiri, sambil tetap menghadirkan dukungan.

"Aku bukan tahanan seperti wanita itu, Kakak. Jadi, tolong lepaskan pelukanmu ini", oceh Via dengan usaha melemparkan lelucon, mencoba mengalihkan perhatian.

Dengan tatapan tajam melihat cermin itu, Diki menjawab, "Asalkan kamu berjanji tidak akan menyia-nyiakan air matamu untuk hal-hal yang tidak penting bagimu". Jawabannya membawa suatu makna yang mendalam, menembus kedok Via dan mencoba merangkul hatinya yang terluka.

Hati Via semakin tercabik dengan kata-kata kakaknya itu. Ia menyadari bahwa melibatkan banyak orang mungkin bukanlah solusi yang tepat, dan kerapian yang dibuatnya seolah-olah dapat menyembunyikan luka-luka dalam dirinya. 

Dengan senyum pahit yang mencoba menutupi kepekaan dalam dirinya, Via menjawab, "Iya, Kak. Aku janji, tidak akan cengeng lagi saat menonton film seperti ini." Namun, dalam kedalaman matanya, terdapat perasaan ragu dan kerapuhan yang belum sepenuhnya bisa dihilangkan.

Melihat senyuman pahit dan tekad yang terpancar dari wajah Via dari cermin kamar, Diki akhirnya melepaskan pelukannya. Ia tahu bahwa proses penyembuhan Via bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan semata, melainkan sebuah perjalanan yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan pengertian.

Tiba-tiba, gemerisik nada dering ponsel Diki mengisi ruangan, memberikan isyarat akan suatu panggilan untuknya. Saat ia melihat layar, tampak nama Tami, tunangannya, muncul di sana. Dengan ekspresi kaget, Diki mengangkat teleponnya, mencari tempat yang lebih tenang untuk menerima panggilan tersebut.

"Maaf ya, Vi. Ada panggilan penting nih dari keluarga calon tunanganku", ucap Diki sambil menahan napas, memberi Via senyuman penuh permakluman. "Kenapa kamu tidak istirahat saja? hentikan saja film-mu itu. Kamu butuh tidur. Aku tahu kamu sedang sibuk di kantor akhir-akhir ini".

Via mengangguk dan mencoba menyembunyikan ketegangan di wajahnya dengan sebuah senyuman tipis. "Tenang saja, Kak. Aku akan istirahat nanti. Semoga semuanya berjalan lancar untukmu", jawabnya dengan suara yang berusaha bersahaja.

Diki tersenyum tulus melihat usaha Via untuk menunjukkan kekuatan. "Terima kasih, Vi. Aku segera kembali", ucapnya seraya bergerak menuju pintu dan meninggalkan kamar Via untuk menjawab panggilan dari Tami.

Sementara Diki pergi, Via duduk di tepi ranjang, merenung sejenak. Terdengar suara langkah-langkah Diki semakin menjauh, dan ruangan pun kembali sepi. Dalam kesendirian, Via menghela nafas panjang, merenung tentang kerumitan yang terus membebani kehidupannya. Meski mencoba menunjukkan kekuatan, tetapi di balik senyumnya, ia merasa rapuh, seakan-akan lorong waktu yang ingin dikejarnya semakin sulit untuk dicapai.

Beberapa detik kemudian ruangan Via terang benderang oleh cahaya pantulan layar ponsel yang tiba-tiba menyala. Bunyi notifikasi ringan memecah keheningan di kamar, menghancurkan momen introspeksi yang sedang berlangsung. Via, dengan wajah yang masih mencerminkan keputusasaan, meraih ponselnya.

Layar ponsel menerangi wajahnya yang tegang, menampilkan pesan masuk yang tiba-tiba. Ia membuka pesan tersebut dengan cermat, dan mata Via menangkap kata-kata yang seakan-akan datang dari sudut yang tak terduga. Saat membaca isi pesan itu, wajahnya berubah menjadi campuran antara keterkejutan dan perasaan yang sulit diungkapkan.

Bagaimana tidak? Pesan itu datang dari Vio.  Vio memberi tahu bahwa ia merencanakan untuk menyalurkan hobi musiknya dengan mendapatkan pekerjaan di sebuah kafe. Pesan itu memancarkan semangat dan kegembiraan Vio dalam mengejar passion-nya. Ia ingin Via mengetahui soal ini.

Tapi, tanpa berpikir panjang, ponsel yang sebelumnya dipegang erat oleh tangan Via, tiba-tiba dilemparkannya ke ujung ranjang. Suara benturan itu menciptakan dentingan kesedihan yang seolah mencerminkan getaran perasaannya yang berkecamuk.

Sambil menatap layar ponsel yang terpental, Via terdiam sejenak. Tangan gemetar ketika ia memikirkan kata-kata yang sebenarnya ingin diungkapkan. Dalam keheningan, Via mulai berbicara sendiri, suaranya dipenuhi nuansa penyesalan yang mendalam.

"Maafkan aku, Vio. Mungkin ini saatnya aku harus menjauh darimu, mulai dari detik ini. Aku tak ingin semuanya menjadi semakin dalam, seperti apa yang pernah kurasakan dulu", ucapnya pelan, seperti berbicara pada diri sendiri. 

Matanya mencerminkan keputusan yang terasa begitu berat, namun juga memancarkan keputusan yang diyakini akan melindungi hatinya dari potensi luka yang lebih dalam.

"Aku berharap, kamu jangan seperti dia" Via mengucapkan lirih dengan suara yang lembut. 

Harapannya sederhana. Ia tidak ingin ada yang terlibat dalam kepedihan ini. Karna dasarnya, di dalam relung hatinya, Via masih menyimpan rasa untuk Rafassya, sementara Vio membawa cinta untuk hati yang telah terpaut pada orang lain. Vio hadir sebagai sosok versi kedua yang hanya membawa kilas balik masa lalu.

Dalam keputusasaan hatinya, Via bertekad untuk tidak menyakiti Vio. Ia memahami bahwa setiap langkah bisa berdampak besar, dan karenanya, ia tidak ingin menjadi sosok yang egois. Dengan ketulusan, Via mencoba menjauh, membawa harapan agar tidak ada lagi yang terluka dalam keberangkatan ini.


Kamu jangan seperti dia, yang pudar dalam bayangan, 
Kamu jangan seperti dia, yang merajut dusta,
Dusta yang membekas, merenggut percaya.
Jangan biarkan bayangnya mengabur di sana,
Kamu, berbeda dengan yang telah ada. 
Seperti dia yang menghilang, tanpa kata perpisahan.


Comments

Postingan Terbaru

Popular Posts

Adab Muqaran dan Realitas Keterpengaruhan Lapangan Sastra

Kanvas Misterius

Penikmat Instagram Story-mu

Studi Sastra Dengan Pendekatan Ekstrinsik