Kanvas Misterius
Via duduk di meja kerjanya, tengah sibuk menyelesaikan proyek desain yang mendesak. Sementara itu, di sudut ruangan, seorang pria muda bernama Vio baru saja bergabung dengan tim. Vio adalah desainer grafis berbakat dengan pesona misterius yang membuatnya menonjol di antara rekan-rekannya. Matanya yang tajam dan senyum lembutnya memikat hati banyak orang. Saat itu, proyek baru telah diterima oleh tim, dan Via mendapati dirinya harus bekerja sama dengan Vio untuk menyelesaikan proyek tersebut.
"Selamat siang, Via. Namaku Vio. Aku baru diserahi proyek ini dan sepertinya kita akan bekerja bersama," sapa Vio dengan senyuman hangat.
Via yang masih terperangah dengan kehadiran Vio, akhirnya bangkit dari kursinya. "Oh, iya. Senang bertemu denganmu, Vio. Aku Via."
Mereka saling berjabat tangan, dan tanpa mereka sadari, detik-detik pertemuan itu seolah merentang lebih lama dari biasanya. Keterkejutan melanda Via, seakan matahari terbit di antara bayangan bangunan kota yang tinggi. Ia menyaksikan sisi lain dari Vio yang mungkin tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Langkah hati Vio yang penuh empati pada pekerja jalan saat itu, meninggalkan tanda tanya di benak Via, yang merasa lebih dekat dengan rekan kerjanya tersebut.
Bayangan aksi Vio masih menyala-nyala di pikirannya. Ia mempertanyakan segala sesuatu yang ia ketahui tentang Vio dan misteri yang melibatinya. Pada akhirnya, kejutan itu membuka jendela ke sisi Vio yang lebih dalam dan membuat Via semakin penasaran dengan lapisan-lapisan cerita yang tersembunyi di balik senyum misteriusnya.
Seiring berjalannya waktu, kerjasama Via dan Vio menjadi lebih intens. Mereka sering bertukar ide, mendiskusikan konsep-konsep, dan bekerja larut malam untuk menyelesaikan proyek dengan hasil terbaik.
Suatu hari, ketika keduanya sedang rapat untuk mendiskusikan rancangan terbaru, Vio tiba-tiba menghentikan presentasinya. "Via, apakah kamu pernah merasa bahwa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Via terkejut mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu, saat di pinggir jalan itu kan?"
Vio tersenyum misterius, "Tidak maksudku adalah mengapa aku merasa seperti kita memiliki koneksi yang lebih dalam dari sekadar rekan kerja?"
Pertanyaan Vio meninggalkan Via dalam kebingungan. Mereka kemudian melanjutkan rapat mereka, tetapi Via merenung tentang kata-kata Vio. Malamnya, Via duduk di meja kerjanya yang penuh dengan sketsa dan desain. Ia menggumamkan pertanyaan dalam hatinya, mencoba mencari jawaban atas perasaan aneh yang muncul akibat kata-kata Vio. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut dan mencari tahu apakah ada benang merah yang menghubungkan mereka ini.
Dengan penuh tekad, Via memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang latar belakang Vio. Ia mulai bertanya kepada rekan-rekan kerja mereka yang lain, mencari jejak atau cerita yang mungkin dapat memberikan petunjuk. Namun, semakin banyak ia mencari, semakin sedikit informasi yang dapat ditemukan. Sepertinya Vio adalah sosok yang misterius dengan banyak rahasia yang terpendam.
Suatu sore, ketika Via sedang berkumpul dengan beberapa rekan kerja untuk istirahat, ia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan yang mengganjal di benaknya. "Apakah kalian tahu lebih banyak tentang Vio, latar belakangnya, atau sesuatu yang tidak biasa terkait dengannya?"
Rekan-rekan kerja hanya saling bertatap-tatapan, seolah-olah mengakui bahwa Vio memang sosok yang sulit dipahami. "Dia selalu menjadi pria misterius, tapi sangat berbakat," jawab salah satu rekan kerja mereka.
(Tiga hari kemudian)
Tepat hari Kamis di penghujung bulan Oktober, ketika keduanya sedang bekerja lembur, Via memilih momen yang tepat untuk membicarakan soal petanyaan itu. "Vio, saya masih merenung tentang pertanyaanmu kemarin. Jawaban itu tidak lekas menyapaku untuk meyakinkna semuanya"
Vio memandang Via dengan tatapan yang penuh arti. "Via, ada banyak cerita di balik senyuman ini. Mungkin kita memang memiliki koneksi yang lebih dalam dari yang kita ketahui. Namun, saya pikir waktunya belum tepat untuk mengungkap semuanya." Ucapnya dengan pelan.
Saat hiruk pikuk kantor kreatif telah mereda dan hanya tinggal keheningan desis pena di atas kertas desain, Vio memutuskan untuk membuka lembaran kelam dalam dirinya. Keduanya duduk di balkon kantor, tempat dimana kalian bisa melihat di mana detik-detik kehidupan bergulir seperti lukisan abstrak.
"Dulu, kehidupanku adalah rangkaian senyum yang terpaksa, Via," ucap Vio, tatapan matanya menembus masa lalu yang kelam. "Keluargaku, sebuah gambaran harmoni yang kusebut, ternyata hanya semu. Aku tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan ketidakharmonisan."
Vio menceritakan tentang rumah yang dihiasi senyuman palsu dan serangkaian pertengkaran yang menjadi latar belakang keluarganya. Ia mengungkapkan bagaimana senyum lembutnya di kantor adalah upaya untuk menyembunyikan luka-luka masa lalunya.
"Setiap kali aku membuat desain yang indah, itu adalah caraku untuk menciptakan dunia yang harmonis, sesuatu yang tidak aku temukan di rumah," tambahnya dengan nada yang penuh kelegaan dan sedih.
Via mendengarkan dengan hati yang hangat, merasakan setiap goresan kata Vio seperti lukisan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Dalam keheningan itu, ruang antara mereka menjadi sarana penyembuhan, tempat di mana dua jiwa kreatif berbagi beban dan menemukan kenyamanan.
"Kemarin, saat aku memberi makan pekerja jalanan, itu adalah caraku untuk menciptakan keharmonisan yang aku cari," lanjut Vio.
Via meresapi cerita Vio, dan dalam pertukaran cerita itu, mereka menemukan kesamaan yang lebih mendalam di antara mereka. Tanpa banyak kata, Via meraih tangan Vio sebagai tanda dukungan dan pengertian. Dalam momen itu, tak ada batasan antara rekan kerja atau teman, hanya dua jiwa yang saling memahami dalam tarian kehidupan yang tak terduga.
Via terus memberi semangat pada dia. Dengan suara halus, dia berkata pada Vio, "Tenang Vio, tidak semuanya hanya menyudutkan itu padamu, kadang-kadang aku juga masih terdampar di masa lalu, seperti mengejar bayang-bayang asa yang terlewatkan."
Vio menjawab, "Tapi aku bersyukur bertemu denganmu, seorang pria di masa lalu, mencoba mengurai simpul-simpul waktu dengan mempertemukan kita di sini."
"Sekarang kita adalah dua pengembara dalam alam semesta rindu," kata Vio dengan suara lembut. "Kita membawa luka dan harapan, mencari sinar terang di ujung jalan yang kita tempuh". Via hanya tersenyum melihat ia merasa lebih lega dengan bercerita padanya.
Seiring matahari semakin condong ke barat, menyisakan warna senja yang merona di ufuk timur, Via dan Vio menyelesaikan proyek mereka di kantor kreatif. Mereka merasa puas dengan hasil kerja keras mereka dan bersiap untuk membuka puasa sunah di hari Kamis ini bersama-sama.
Keduanya memutuskan untuk pergi ke kafe kecil yang terletak di dekat kantor, tempat yang sering mereka kunjungi untuk melepaskan penat dan mendiskusikan ide-ide tanpa beban. Ketika mereka tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, dan suasana yang hangat memenuhi ruangan.
Mereka memilih sudut yang nyaman, duduk di atas kursi yang empuk, dan memesan menu favorit mereka sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba. Sementara menikmati suasana kafe, Via memutuskan untuk membuka percakapan.
"Kamu tahu, Vio, kafe ini selalu punya kenangan manis untukku. Ada satu waktu, ketika aku sedang merancang sesuatu di kafe ini, aku menemukan inspirasi yang membuat proyek itu menjadi salah satu karya terbaikku," cerita Via sambil tersenyum.
Vio tertarik, "Serius? Apa yang membuat momen itu begitu istimewa?"
Via menatap jauh ke luar jendela, "Itu adalah saat di mana aku merasa hidup, di mana semua pikiran gelapku terangkat. Dan sejak saat itu, kafe ini punya tempat khusus di hatiku, mungkin nanti akan ku kenalkan halam 313 padamu. Halaman itu selalu menemaniku".
"Halaman? kamu punya novel favorit? Ah ini sangat asyik". Jawab Vio dengan semangat. Via tidak melanjutkan pembicaraan mereka, karena matahari semakin tenggelam, dan adzan maghrib berkumandang, menandakan waktu berbuka puasa. Via dan Vio memulai berbuka puasa mereka dengan berdoa bersama, merasakan kerukunan dan kedekatan dalam momen tersebut. Setelah berbuka, mereka melanjutkan obrolan mereka, beralih ke percakapan yang lebih ringan.
"Kamu tau perbedaan sebutan Aku sama gua? Perbedaan kamu sama lu?" Vio mennyodorkan lelucon yang menggambarkan bagaimana rasa sayang dia terhadap Via.
Dengan polos Via menjawab "Tau, kalau dipikir-pikir kata itu bakal bikin over thinking".
"Kenapa begitu?" Jawab cepat Vio.
"Ya.... karna seseorang yang terbiasa dengan panggilan salah satunya, tapi saat orang itu berubah. Pikiran aneh aneh bakal muncul tau yoooo" Jelas Via.
Vio tertawa terbahak bahak, tiba tiba terdiam saat Via berkata"Jangan pernah berubah, walaupun aku tau kamu punya dua sisi, ya" ucapnya dengan pelan.
"Kamu bilang apa tadi Via?" dengan sigap ia melawan arus pertanyaan itu. "Nggak, aku tadi lagi memikirkan chat orang rumah buat jemput aku hehehe".
"Tidak usah disembunyikan. Ternyata kamu tau maksud lelucon aku tadi. Rasanya apakah bulan kelahiran kita sama? Vio terus memberkan lelucon barunya yang garing itu, namun cukup membuat kopi panas diatas meja jadi hangat enak diminum.
"MARET!" mereka berbarengan dan tertawa bersama "Kenapa bisa sama lagiiii ya ampun, apakah kita ini kembar atau satu paket gembok sama kunci wkwk" lanjut Vio sembari tertawa.
Malam semakin larut, dan keduanya memutuskan untuk meninggalkan kafe. Di bawah cahaya bulan, mereka melangkah bersama, merasakan kelembutan malam yang penuh makna.
Namun, seperti halaman sebuah novel yang berbalik, cerita mereka belum selesai. Mereka melangkah keluar, menyusuri jalan kota yang tenang, menuju kehidupan yang tak terduga. Apa yang akan terjadi pada keduanya selanjutnya? Mungkin jawabannya terpampang di halaman-halaman berikutnya, yang belum terbaca dan terbongkar.
Matahari terbenam di padang Vio, membawa kedamaian yang lembut,
Sementara cahaya senja menari-nari di rerumputan kenangan.
Dalam padangnya yang sunyi, Vio menemukan keajaiban,
Sebuah puisi yang tak terdengar, tetapi dirasakan dalam detak jantungnya.
Dan ketika malam merangkul padangnya dengan pelukan gelapnya,
Vio tetap menjadi penjaga rahasia yang terpampang di langit.
Padang Vio adalah puisi yang terus bersambung.
Comments
Post a Comment